Kamis, 30 April 2009

Kejar Duniamu seakan kau hidup selamanya, tapi kejar akhiratmu seakan kau mati esok

Indikator Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi'in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.

Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona'ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
"Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita". Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap "bandel" dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.

Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?"
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Ingatlah kata pepatah berteman dengan tukang minyak wangi kita akan ikut wangi. Jadi sebaiknya dalam pergaulan dan memilih lingkungan ada baiknya kita memilih lingkungan yang akan mendekatkan kita dengan keshalehan. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.

Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.

Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW, "Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan". Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.

Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.

Semangat memahami agama akan meng "hidup" kan hatinya, hati yang "hidup" adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat "hidup" orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Kata Nabi SAW, "Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga". Lalu para sahabat bertanya: "Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?". Jawab Rasulullah SAW : "Amal soleh saya pun juga tidak cukup". Lalu para sahabat kembali bertanya : "Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?". Nabi SAW kembali menjawab : "Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata".

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).(anggraini/dari berbagai sumber)

YUk SHALAT SAYANG

Mengajak Kekasih untuk Beribadah, Kesabaran dan Kecerdikan Kuncinya

Sekelumit pengalaman ini mungkin bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.

“Yuk shalat berjamaah,” ajak si abang suamiku tersayang. Rasanya senang sekali mendengar ia berkata seperti itu. Padahal dulu jika diajak shalat berjamaah, jawabnya selalu saja seperti kaset rusak, “adek aja dulu, abang sebentar lagi.”

Belajar dari Ayah

Sedari kecil aku memang hanya punya satu figure pria ideal, ayahku. Dulu ayah sering sekali mengajak kami untuk shalat berjamaah walaupun hanya seminggu sekali karena kesibukan ayah yang padat. Dorongan untuk beribadah justru kami dapatkan dari ibu,walaupun tidak intens. Walau ayah jarang di rumah, namun jikalau sempat ayah selalu mengajak kami shalat berjamaah. Itu sewaktu kami kecil.

Setelah kami bertambah besar dan mulai bisa mengaji, kami suka protes jika bacaan ayah tidak bagus, baikl lafal mauapun tajwidnya. Dan semenjak itu ayah tak mau lagi berjamaah bersama kami.Alasannya banyak, ayah udah shalat, ayah shalat di musholla aja dan sebagainya.

Aku juga tidak pernah melihat ayah mengaji, walau sedari muda yang kutahu berdasarkan cerita orang, ayah suka sekali bergaul dilingkungan masjid. Lama kelamaan,aku tahu ternyata ayah tidak bisa membaca alquran! Selama ini ayat-ayat pendek yang dibacanya dalam shalat adalah hasil hafalan semata. Pantas saja kalau lafal dan tajwidnya banyak yang salah.

Ayah juga mulai lalai dalam shalatnya. Kadang maghribpun tidak karena masih dijalan. Lama kelamaan aku menangkap hal ini. Bersama seorang adikku, kami mencoba mendekati ayah. Lewat buku, karena ayah begitu cinta sama buku, kami mulai mengajak ayah untuk kembali dekat sama Allah. Kami memang pernah mencoba melalui diskusi, tapi karena dianggap masih anak-anak kadang argumentasi kami dimentahkan. “Ayahkan Cuma ketinggalan satu waktu shalat. Dari pada ayah ngga shalat.” Rasanya kalau lewat diskusi kami kalah deh.

Melalui buku-buku yang berisi tentang indahnya iman dan dicintai Allah, kami mengajak ayah kembali untuk dekat kepada Allah. Ayah mulai rajin puasa sunnah, karena kalau puasa wajib ayah jagonya. Walau bagaimanapun hingga meninggalnya, hanya sekali dibulan Ramadhan, ayah tidak tuntas melaksanakan puasanya, yaitu sakit menjelang kepergiaannya.

Aku dan adikku bersama ayah sewaktu ayah mulai melaksanakan puasa sunnahnya yang pertama. Aku ingat itu, bulan Rajab sepuluh tahun lalu. Setelah itu, ayah mulai rutin puasa senin kamis,sunnah Rajab,Sya’ban, Syawal dan puasa lainnya.

Semenjak ayah mulai puasa sunnah, shalat wajibnya pun mulai teratur. Alasan kami waktu itu,”Kan sayang yah, udah puasa sunnah ngga shalat tepat waktu.” Namun ayah tetap tidak mau menjadi imam kami.”Ah kan bacaaan ayah ngga fasih, nanti dosa.Kalau mau jamaah ke musholla saja,” begitu biasanya alasan ayah.

Dan ayahpun mulai aktif lagi di musholla, ayah mulai tak lepas melaksanakan shalat berjamaah minimal subuh dan maghrib di mushollah. Bahkan ayah juga mulai cerewet jika kami agak lalai dalam wakltu shalat.”Rezeki Allah buat kalian kan ngga pernah telat diberi,kok hak Allah kalian perlambat.” Kata-kata itulah yang selalu kukenang rasanya seperti wasiat ayah pada kami.

Mengajar sang Suami

Ternyata tugas mengajakku tak berhenti hanya pada ayahku saja. Tugas inipun berlanjut saat aku memasuki mahligai pernikahan.

Dulu sebelum menikah, aku hanya kenal dan bertemu calon suamiku selama 4 kali. Perkenalan kami secara pribadi lebih banyak dilakukan melalui telepon. Akibatnya aku agak lalai mengenai keagamaan si abang.

Setelah menikah, aku baru tahu ternyata si abang orang yang suka lalai dalam beribadah terutama shalat fardhu. Setiap hari aku harus menjadi alarmnya dalam melaksanakan shalat.Aku udah seperti radio yang mengajaknya untuk shalat berjamaah di rumah atau pergi ke masjid.

Awalnya ia memang sempat marah dan kesal. “Sebentar lagi kenapa? Kan waktunya masih panjang. Lagian masih capek,” demikian biasanya alasan si abang.

Karena takut dikira suka ngatur,aku memutar otak mencari cara agar dengan kesadarannya sendiri abang mau shalat tepat waktu. Aku mencoba membuat tulisan di pintu kamar, “Sudahkah Anda shalat hari ini?” “Apakah Anda sudah memberikan hak Allah hari ini tepat waktu?” “Jangan lupa ajal tak kenal kata sebentar!” Kata-kata ini sengaja aku ganti setiap minggu.Akhirnya entah karena bosan atau memang kesadaran sendiri, si abang mulai melaksanakan shalatnya tepat waktu. Rasanya senang sekali ia mau kembali mengejar cinta Allah.

Setelah itu, tugasku yang lain adalah mengajak si abang untuk membaca ayat-ayat cinta Allah setiap hari, mengkajinya bersama sama. Awalnya ini juga seperti sewaktu mengajaknya untuk shalat tepat waktu.

Walau si abang dari kecil dididik dengan agama yang memadai, namun pergaulan sudah menyeretnya agak jauh dari agama. Abang yang dulu lancar membaca Alquran, kini harus kembali lagi tertatih-tatih membacanya. Memang ada yang bilang, membaca Alquran itu seperti naik sepeda, kalau sudah bisa, walau lama ngga dicoba sekali coba juga bisa. Namun bagiku, itu tidak sama. Alquran bukan sepeda, Alquran ayat Allah, kesalahan satu huruf saja saat membacanya sudah merupakan dosa. Bukankah Allah tak pernah salah membagi rezekinya pada kita?

Dengan terbata-bata si abang mulai belajar kembali membaca Alquran. Bahkan aku bersyukur atas hadiah sebuah Alquran dengan tajwid yang diberikan Pak Faisal kepadaku menjelang pernikahan dulu. Alquran itulah yang kugunakan untuk mengajarkan kembali hokum-hukum tajwid kepada abang.

Setiap ba’da maghrib, usai shalat berjamaah, kami akan duduk bersama dan aku mendengarkannya membaca Alquran sembari membetulkan kesalahannya.

Senang rasanya, sudah bisa mengajak si abang untuk dekat dengan Allah. Namun tugasku belum usai. Aku masih punya satu PR besar, mengajak si abang untuk puasa sunnah dan cinta suasana masjid. Kalau ini sih aku yakin suatu hari pasti berhasil. Karena aku yakin Allah tak akan menyia-nyiakan usaha hambaNYa yang ingin mengajak ke jalan kebaikan. (anggraini)

Rabu, 29 April 2009

rindu es cincau

Panas sekali Medan akhir-akhir ini. Menurut BKMG sih berkisar 30 derajat. wuihhh panas nian ya.
tapi saat panas begini ada satu yang sangat kurindukan, es cincau atau lengkong.
Terdiri dari lengkong atau cincau hitam yang dipotong dadu kecil lalu disiram air gula dan ditambah es batu. hmmmmmmmm segar banget.

kalau ja ada tukang es cincau sekarang rasanya surga dunia dah ditangan deh :)

Rabu, 22 April 2009

pelajaran dari sang nenek

Pelajaran dari Sang Nenek

Siang itu matahari begitu menyengat. Semua makhluk mencari keteduhan, termasuk aku yang mencari perlindungan di dalam rumah mungilku. Sambil berbaring dan menikmati tulisan pengarang kesayanganku, sayup-sayup terdengar suara memanggil pemilik warung di seberang rumahku. Lama suara itu memanggil-manggil pemilik warung, namun kelihatannya tak ada jawaban. Aku pun penasaran dan mengintip dari balik jendela.

Betapa terkejutnya aku, saat melihat di bawah jendelaku terduduk seorang nenek. Usianya mungkin sudah lebih 80 tahun. Disisinya ada sebuah tongkat kayu penopang tubuhnya. Aku pun mengajak sang nenek untuk beristirahat di dalam rumahku. Namun ia menolak.

Aku bergegas keluar membawakan sebotol air dingin. Dalam sekejap air itu diteguknya. Tak berapa lama datang seorang ibu, usianya mungkin sebaya dengan ibuku. Ia pun merebut minuman dari tangan sang nenek. Aku berusaha mencegahnya. Setelah mengambil botol ke dua, aku bertanya, mengapa si nenek terduduk di sana.

Ternyata ia lupa jalan pulang. “Tadi nenek habis dari rumah sakit jiwa, mengantar anak nenek ini berobat jalan,” katanya .

Pantaslah, kelakuannya kurang sopan, rupanya sakit jiwa. Kataku dalam hati.

Si nenek melanjutkan ceritanya, “Rumah nenek jalannya memang menurun seperti ini, tapi tidak sebagus ini. Lagian rumahnya juga ngga secantik ini.”

Yang lebih parah lagi, sang nenek baru Sembilan hari pindah ke rumahnya tersebut. Aku berpikir untuk mengajak saja sang nenek tinggal di rumahku. Toh aku hanya tinggal berdua dengan suami.

Namun, aku tersentak mendengar kelanjutan cerita sang nenek. Ternyata selain anaknya yang sakit jiwa itu, ia masih punya delapan anak lagi. Bahkan rumahnya ada yang dekat dengan daerah rumahku. Tapi kok mereka tega membiarkan ibunya yang renta itu hanya tinggal berdua saja dengan saudaranya yang sakit jiwa. Akupun kembali membujuk sang nenek untuk berteduh di rumahku saja, namun ia tetap menolak.

Aku memanggil tetanggaku, siapa tahu ia kenal dengan sang nenek. Maklumlah aku juga baru pindah dan hanya kenal tetangga dekat saja. Setelah mencari dan bertanya ke sana kemari, akhirnya kami tahu rumah sang nenek. Bersusah payah aku dan tetanggaku mengantarnya.

Rumah itu begitu kecil dan kumuh. Jalanannya pun menurun dan berbatu. Pantas saja sang nenek sempat berkata, “Nenek aja takut kalau jalan ke rumah nenek, takut jatuh, jalannya jelek,”

Usai peristiwa itu aku merenung. Ternyata anak yang sholeh itu surga dunia ya. Tiba-tiba saja aku teringat ibuku. Sudah hampir dua bulan aku tidak menanyakan kabarnya. Alasanku karena sibuk baru pindah rumah. Padahal hanya dengan mendengar suaranya saja segala masalah jadi ringan. Aku kangen ibu, pikirku dalam hati.

“Ya Allah terima kasih atas teguranMU kali ini. Aku sudah lalai untuk berbuat baik pada orangtuaku. Mungkin jika tidak Engkau tegur, aku bisa saja jadi seperti anak-anak nenek tadi,” doaku dalam hati

Aku pun merenung kembali, akan jadi seperti apakah aku kelak? Akankah anak-anakku kelak berbakti dan menjadi anak sholeh atau malah seperti anak-anak nenek tadi? Yang tega membiarkan ibunya tinggal sendirian di tempat kumuh. Ya Allah, aku percaya apapun yang terjadi kelak adalah balasan dari bagaimana caraku memperlakukan orangtuaku kini. Aku tak ingin jadi sang nenek. Aku bergegas meraih HP, biarlah mahal, aku rindu ibuku. “Halo ma, aku kangen, kangen sekali,” sapaku pada ibuku. Saat itu aku menangis. Maafkan aku bu, aku belum jadi surga duniamu. (anggraini)

Deli Tua

permulaan dan perkenalan

assalamualaikum, hi nama saya beby. terima kasih sudah mengunjungi blog ku ini. semoga mendapat manfaat darinya