Rabu, 22 April 2009

pelajaran dari sang nenek

Pelajaran dari Sang Nenek

Siang itu matahari begitu menyengat. Semua makhluk mencari keteduhan, termasuk aku yang mencari perlindungan di dalam rumah mungilku. Sambil berbaring dan menikmati tulisan pengarang kesayanganku, sayup-sayup terdengar suara memanggil pemilik warung di seberang rumahku. Lama suara itu memanggil-manggil pemilik warung, namun kelihatannya tak ada jawaban. Aku pun penasaran dan mengintip dari balik jendela.

Betapa terkejutnya aku, saat melihat di bawah jendelaku terduduk seorang nenek. Usianya mungkin sudah lebih 80 tahun. Disisinya ada sebuah tongkat kayu penopang tubuhnya. Aku pun mengajak sang nenek untuk beristirahat di dalam rumahku. Namun ia menolak.

Aku bergegas keluar membawakan sebotol air dingin. Dalam sekejap air itu diteguknya. Tak berapa lama datang seorang ibu, usianya mungkin sebaya dengan ibuku. Ia pun merebut minuman dari tangan sang nenek. Aku berusaha mencegahnya. Setelah mengambil botol ke dua, aku bertanya, mengapa si nenek terduduk di sana.

Ternyata ia lupa jalan pulang. “Tadi nenek habis dari rumah sakit jiwa, mengantar anak nenek ini berobat jalan,” katanya .

Pantaslah, kelakuannya kurang sopan, rupanya sakit jiwa. Kataku dalam hati.

Si nenek melanjutkan ceritanya, “Rumah nenek jalannya memang menurun seperti ini, tapi tidak sebagus ini. Lagian rumahnya juga ngga secantik ini.”

Yang lebih parah lagi, sang nenek baru Sembilan hari pindah ke rumahnya tersebut. Aku berpikir untuk mengajak saja sang nenek tinggal di rumahku. Toh aku hanya tinggal berdua dengan suami.

Namun, aku tersentak mendengar kelanjutan cerita sang nenek. Ternyata selain anaknya yang sakit jiwa itu, ia masih punya delapan anak lagi. Bahkan rumahnya ada yang dekat dengan daerah rumahku. Tapi kok mereka tega membiarkan ibunya yang renta itu hanya tinggal berdua saja dengan saudaranya yang sakit jiwa. Akupun kembali membujuk sang nenek untuk berteduh di rumahku saja, namun ia tetap menolak.

Aku memanggil tetanggaku, siapa tahu ia kenal dengan sang nenek. Maklumlah aku juga baru pindah dan hanya kenal tetangga dekat saja. Setelah mencari dan bertanya ke sana kemari, akhirnya kami tahu rumah sang nenek. Bersusah payah aku dan tetanggaku mengantarnya.

Rumah itu begitu kecil dan kumuh. Jalanannya pun menurun dan berbatu. Pantas saja sang nenek sempat berkata, “Nenek aja takut kalau jalan ke rumah nenek, takut jatuh, jalannya jelek,”

Usai peristiwa itu aku merenung. Ternyata anak yang sholeh itu surga dunia ya. Tiba-tiba saja aku teringat ibuku. Sudah hampir dua bulan aku tidak menanyakan kabarnya. Alasanku karena sibuk baru pindah rumah. Padahal hanya dengan mendengar suaranya saja segala masalah jadi ringan. Aku kangen ibu, pikirku dalam hati.

“Ya Allah terima kasih atas teguranMU kali ini. Aku sudah lalai untuk berbuat baik pada orangtuaku. Mungkin jika tidak Engkau tegur, aku bisa saja jadi seperti anak-anak nenek tadi,” doaku dalam hati

Aku pun merenung kembali, akan jadi seperti apakah aku kelak? Akankah anak-anakku kelak berbakti dan menjadi anak sholeh atau malah seperti anak-anak nenek tadi? Yang tega membiarkan ibunya tinggal sendirian di tempat kumuh. Ya Allah, aku percaya apapun yang terjadi kelak adalah balasan dari bagaimana caraku memperlakukan orangtuaku kini. Aku tak ingin jadi sang nenek. Aku bergegas meraih HP, biarlah mahal, aku rindu ibuku. “Halo ma, aku kangen, kangen sekali,” sapaku pada ibuku. Saat itu aku menangis. Maafkan aku bu, aku belum jadi surga duniamu. (anggraini)

Deli Tua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar