Kamis, 30 April 2009

YUk SHALAT SAYANG

Mengajak Kekasih untuk Beribadah, Kesabaran dan Kecerdikan Kuncinya

Sekelumit pengalaman ini mungkin bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.

“Yuk shalat berjamaah,” ajak si abang suamiku tersayang. Rasanya senang sekali mendengar ia berkata seperti itu. Padahal dulu jika diajak shalat berjamaah, jawabnya selalu saja seperti kaset rusak, “adek aja dulu, abang sebentar lagi.”

Belajar dari Ayah

Sedari kecil aku memang hanya punya satu figure pria ideal, ayahku. Dulu ayah sering sekali mengajak kami untuk shalat berjamaah walaupun hanya seminggu sekali karena kesibukan ayah yang padat. Dorongan untuk beribadah justru kami dapatkan dari ibu,walaupun tidak intens. Walau ayah jarang di rumah, namun jikalau sempat ayah selalu mengajak kami shalat berjamaah. Itu sewaktu kami kecil.

Setelah kami bertambah besar dan mulai bisa mengaji, kami suka protes jika bacaan ayah tidak bagus, baikl lafal mauapun tajwidnya. Dan semenjak itu ayah tak mau lagi berjamaah bersama kami.Alasannya banyak, ayah udah shalat, ayah shalat di musholla aja dan sebagainya.

Aku juga tidak pernah melihat ayah mengaji, walau sedari muda yang kutahu berdasarkan cerita orang, ayah suka sekali bergaul dilingkungan masjid. Lama kelamaan,aku tahu ternyata ayah tidak bisa membaca alquran! Selama ini ayat-ayat pendek yang dibacanya dalam shalat adalah hasil hafalan semata. Pantas saja kalau lafal dan tajwidnya banyak yang salah.

Ayah juga mulai lalai dalam shalatnya. Kadang maghribpun tidak karena masih dijalan. Lama kelamaan aku menangkap hal ini. Bersama seorang adikku, kami mencoba mendekati ayah. Lewat buku, karena ayah begitu cinta sama buku, kami mulai mengajak ayah untuk kembali dekat sama Allah. Kami memang pernah mencoba melalui diskusi, tapi karena dianggap masih anak-anak kadang argumentasi kami dimentahkan. “Ayahkan Cuma ketinggalan satu waktu shalat. Dari pada ayah ngga shalat.” Rasanya kalau lewat diskusi kami kalah deh.

Melalui buku-buku yang berisi tentang indahnya iman dan dicintai Allah, kami mengajak ayah kembali untuk dekat kepada Allah. Ayah mulai rajin puasa sunnah, karena kalau puasa wajib ayah jagonya. Walau bagaimanapun hingga meninggalnya, hanya sekali dibulan Ramadhan, ayah tidak tuntas melaksanakan puasanya, yaitu sakit menjelang kepergiaannya.

Aku dan adikku bersama ayah sewaktu ayah mulai melaksanakan puasa sunnahnya yang pertama. Aku ingat itu, bulan Rajab sepuluh tahun lalu. Setelah itu, ayah mulai rutin puasa senin kamis,sunnah Rajab,Sya’ban, Syawal dan puasa lainnya.

Semenjak ayah mulai puasa sunnah, shalat wajibnya pun mulai teratur. Alasan kami waktu itu,”Kan sayang yah, udah puasa sunnah ngga shalat tepat waktu.” Namun ayah tetap tidak mau menjadi imam kami.”Ah kan bacaaan ayah ngga fasih, nanti dosa.Kalau mau jamaah ke musholla saja,” begitu biasanya alasan ayah.

Dan ayahpun mulai aktif lagi di musholla, ayah mulai tak lepas melaksanakan shalat berjamaah minimal subuh dan maghrib di mushollah. Bahkan ayah juga mulai cerewet jika kami agak lalai dalam wakltu shalat.”Rezeki Allah buat kalian kan ngga pernah telat diberi,kok hak Allah kalian perlambat.” Kata-kata itulah yang selalu kukenang rasanya seperti wasiat ayah pada kami.

Mengajar sang Suami

Ternyata tugas mengajakku tak berhenti hanya pada ayahku saja. Tugas inipun berlanjut saat aku memasuki mahligai pernikahan.

Dulu sebelum menikah, aku hanya kenal dan bertemu calon suamiku selama 4 kali. Perkenalan kami secara pribadi lebih banyak dilakukan melalui telepon. Akibatnya aku agak lalai mengenai keagamaan si abang.

Setelah menikah, aku baru tahu ternyata si abang orang yang suka lalai dalam beribadah terutama shalat fardhu. Setiap hari aku harus menjadi alarmnya dalam melaksanakan shalat.Aku udah seperti radio yang mengajaknya untuk shalat berjamaah di rumah atau pergi ke masjid.

Awalnya ia memang sempat marah dan kesal. “Sebentar lagi kenapa? Kan waktunya masih panjang. Lagian masih capek,” demikian biasanya alasan si abang.

Karena takut dikira suka ngatur,aku memutar otak mencari cara agar dengan kesadarannya sendiri abang mau shalat tepat waktu. Aku mencoba membuat tulisan di pintu kamar, “Sudahkah Anda shalat hari ini?” “Apakah Anda sudah memberikan hak Allah hari ini tepat waktu?” “Jangan lupa ajal tak kenal kata sebentar!” Kata-kata ini sengaja aku ganti setiap minggu.Akhirnya entah karena bosan atau memang kesadaran sendiri, si abang mulai melaksanakan shalatnya tepat waktu. Rasanya senang sekali ia mau kembali mengejar cinta Allah.

Setelah itu, tugasku yang lain adalah mengajak si abang untuk membaca ayat-ayat cinta Allah setiap hari, mengkajinya bersama sama. Awalnya ini juga seperti sewaktu mengajaknya untuk shalat tepat waktu.

Walau si abang dari kecil dididik dengan agama yang memadai, namun pergaulan sudah menyeretnya agak jauh dari agama. Abang yang dulu lancar membaca Alquran, kini harus kembali lagi tertatih-tatih membacanya. Memang ada yang bilang, membaca Alquran itu seperti naik sepeda, kalau sudah bisa, walau lama ngga dicoba sekali coba juga bisa. Namun bagiku, itu tidak sama. Alquran bukan sepeda, Alquran ayat Allah, kesalahan satu huruf saja saat membacanya sudah merupakan dosa. Bukankah Allah tak pernah salah membagi rezekinya pada kita?

Dengan terbata-bata si abang mulai belajar kembali membaca Alquran. Bahkan aku bersyukur atas hadiah sebuah Alquran dengan tajwid yang diberikan Pak Faisal kepadaku menjelang pernikahan dulu. Alquran itulah yang kugunakan untuk mengajarkan kembali hokum-hukum tajwid kepada abang.

Setiap ba’da maghrib, usai shalat berjamaah, kami akan duduk bersama dan aku mendengarkannya membaca Alquran sembari membetulkan kesalahannya.

Senang rasanya, sudah bisa mengajak si abang untuk dekat dengan Allah. Namun tugasku belum usai. Aku masih punya satu PR besar, mengajak si abang untuk puasa sunnah dan cinta suasana masjid. Kalau ini sih aku yakin suatu hari pasti berhasil. Karena aku yakin Allah tak akan menyia-nyiakan usaha hambaNYa yang ingin mengajak ke jalan kebaikan. (anggraini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar