Jumat, 01 Mei 2009

Perempuan, Lebih Kuat dari Laki-laki Ah Siapa Bilang


Shutter Stock

/

Selama ini wanita selalu diidentikan sebagai kaum yang lemah, kaum yang tidak mempunyai daya tawar lebih. Tak jarang kaum wanita dipandang sebelah mata oleh kaum pria. Padahal wanita justru lebih kuat dibanding laki-laki

"Saya melihat dari pengalaman keluarga saya sendiri, ayah saya menikah tiga kali. Ia tidak mampu mengurusi keluarga setelah istrinya meninggal," terang Samuel Mulia, Seorang Brand Counsltan dari beberapa media terkemuka saat ditemui usai peluncuran buku Heart in Side The Heart Susahnya Menyatukan Dua Hati, di Jakarta, Kamis (23/4).

Setelah pemakaman, lanjut Sam, sang ayah tidak dapat mengurusi hal-hal kecil seperti mengurus anak, ataupun membayar tagihan listrik dan telephon.

"Kalau perempuan ditinggal oleh suaminya, yang paling menjadi masalah adalah ekonomi, tapi kalau suami yang ditinggal bisa kacau semuanya. Tak heran banyak duda yang menikah lagi," ujar Sam.

Selain itu, lanjut Sam, sang suami akan mengalami banyak kesulitan dalam memecahkan berbagai masalah karena selama ini saat istri adalah tempat mengadu bagi suaminya,

"Bahkan seorang kepala negara pun yang tampak gagah dari luar akan mengadu pada istri mereka. Tak heran kalau ada istilah dibalik pria yang kuat terdapat perempuan yang hebat," imbuhnya.

Ia juga mencontohkan kekuatan yang dipunyai perempuan terlihat saat ia mengandung. Selama sembilan bulan, seorang perempuan harus membawa beban kemana pun ia pergi. Belum lagi harus merasakan sakit saat melahirkan.

Setelah menjadi seorang ibu, perempuan masih harus repot mengurus sang anak. Sayang, kekuatan yang dimiliki belum digunakan maksimal oleh para perempuan.

Menurutnya para perempuan belum percaya diri dengan kekuatan yang ada. Selain itu, faktor dominasi laki-laki juga menghambat perempuan untuk menunjukan kekuatannya.

Selanjutnya pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini berpendapat laki-laki adalah makhluk yang egois, dan mempolitisir wanita untuk dijadikan kaum yang dilemahkan.

"Saat Adam tertangkap makan buah dari surga, ia justru menyalahkan hawa," kata dia. Ia juga mencontohkan laki-laki akan dianggap hebat jika ia menjadi playboy, namun jika wanita menjadi play girl masyarakat justru mencibir.

Sumber : Kompas.com

Marah yang Bermanfaat

Agar tak jadi temannya setan

GETTY IMAGES

/

Saat ini tampaknya banyak orang yang mudah marah atau terpancing emosinya. Bisa jadi marah karena masalah yang besar atau bahkan marah karena hal yang sepele. Contoh yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari – hari misalnya adalah kemarahan di jalan raya. Seseorang yang sedang berkendara atau berjalan kaki, yang semula tenang dapat berubah dan marah – marah karena ada pengendara lain yang memotong jalan atau hampir menabraknya. Kejadian yang lebih parah adalah ketika akhirnya hari itu menjadi kacau akibat kemarahan tersebut.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah seseorang tidak boleh marah? Apakah amarah selalu berakibat buruk?

Jawabannya adalah seseorang boleh saja marah dan amarah tidak selalu harus berakibat buruk. Tetapi bagaimana caranya agar amarah tidak membuat kacau dan justru malah bermanfaat bagi seseorang? Ini yang perlu kita pelajari.

Amarah adalah salah satu bentuk emosi yang dimiliki oleh seseorang. Emosi sendiri memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk membangun atau menghancurkan kehidupan seseorang. Ketika emosi dikelola dengan baik, kekuatannya dapat membangun kehidupan seseorang menjadi lebih baik, tetapi begitu juga sebaliknya ketika emosi tidak dikelola dengan baik.

Marah yang bermanfaat adalah marah yang tepat dan sudah dikelola dengan baik. Hal ini jelas tidak mudah, butuh waktu, kesabaran dan hati yang lapang, tapi bukan berarti tidak dapat dilakukan. Langkah pertama yang perlu dilatih terus menerus adalah menyadari ketika kita merasa marah.

Sadari bahwa saat ini aku sedang marah. Proses menyadari adalah langkah awal untuk mengendalikan dan mengelola amarah.
Setelah menyadari, seseorang perlu memahami dan menerima alasan kenapa ia marah. Inilah langkah yang kedua, proses memahami dan menerima bahwa ada sesuatu yang membuatnya marah.

Termasuk dalam proses memahami adalah mengevaluasi penyebab kemarahannya. Seorang Ibu yang baru pulang bekerja mulai merasa marah ketika anaknya yang masih balita merengek – rengek padanya, padahal ia merasa sangat lelah. Ibu ini dapat saja langsung memarahi anaknya dan meminta anaknya untuk tidak mengganggunya. Tetapi hal tersebut dapat berbuntut anak tambah menangis dan si-Ibu semakin frustasi.

Ketika si-Ibu mau mencoba menyadari, kemudian mencoba memahami kejadian tersebut, ia akan dapat melihat bahwa anaknya merengek – rengek bukan karena nakal, tetapi anaknya rindu padanya.

Berdasarkan kisah dari beberapa orang, terungkap bahwa terkadang sesuatu yang membuat marah justru punya alasan atau maksud yang berbeda. Banyak yang menyesal karena sudah marah – marah untuk alasan yang tidak tepat, misalnya marah karena ada orang yang menunjuk – nunjukkan jari padanya, padahal orang tersebut bermaksud memberitahu bahwa ada bahaya yang mengancamnya dari belakang. Alasan sebenarnya inilah yang perlu kita pahami agar tidak asal marah dan buang – buang energi.

Langkah yang ketiga adalah mengelola atau mengekspresikan amarah dengan tepat. Jika kita punya alasan yang tepat, misalnya bukan hanya meluapkan emosi, tetapi juga demi pembelajaran bagi orang lain, kita dapat mengungkapkan kemarahan kita.

Kemarahan yang bermanfaat tentu saja bukan kemarahan yang ingin membalas atau menyakiti orang lain, melainkan marah yang mendidik dan membangun.

Cara lain yang dapat kita lakukan adalah mengelola dengan mengubah amarah yang kita rasakan menjadi hal yang positif bagi diri kita. Kita dapat mencoba melihat sisi positif dari kejadian yang membuat kita marah, mengambil hikmah atau pembelajaran dari kejadian tersebut.

Kita juga dapat mengubah energi kemarahan yang kita rasakan menjadi energi yang dapat memotivasi kita melakukan hal yang bermanfaat. Daripada marah – marah pada pengendara motor yang memotong jalan dan sudah tidak tampak lagi, lebih baik energi yang ada digunakan untuk lebih waspada, mencermati jalan, menyalurkan hobi menyanyi, atau menyelesaikan pekerjaan di kantor.

Intinya adalah jangan terjebak pada kemarahan yang dapat merusak hari dan diri kita, tetapi manfaatkanlah kemarahan dengan cara yang tepat. Sadari, pahami dan kelola dengan tepat emosi marah yang kita rasakan karena kemampuan ini adalah bagian dari kecerdasan emosi yang kita miliki.

P. Henrietta Siswadi, S. Psi, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber Kompas.com